Anak Bujang




Oleh : Akara. K


Anak bujang menjadi satu-satunya tumpuan keluarga. Di kampungku anak bujang harus berhasil, baik di tanah sendiri atau di tanah orang. Di kampungku, sungguh menjadi kebanggaan orang tua terutama mamaknya  jika anak bujangnya kaya dan tenar. Menurutku begitu juga dengan mamak Nai, mungkin isi di kepalanya sama dengan isi di kepala mamak-mamak yang lain.


Tomat. Aku tercekik mendengar nama itu. Dalam cerita ini aku bukan ingin berdongeng yang biasa kita dengarkan saban mau berangkat tidur oleh ayah maupun bunda. Dari mana asalnya tomat menjadi buah primadona dalam hidupku saat ini.


    “Kalau kau pulang nanti, jangan lupa bawakan mama Tomat,” ucap mamak Nai sebelum aku berangkat merantau. Aku heran dengan permintaan mamak Nai. Mungkin dari sekian banyak ibu di bumi ini pasti akan meminta hal lebih pada anaknya. Tapi, tidak dengan mamak Nai, dia hanya meminta tomat.


    “Apa mamak tidak meminta yang lain?” tanyaku.


    “Tidak. Mamak tak akan meminta apapun selain tomat darimu,” ucapnya.

 

Aku heran dengan permintaan mamak Nai yang aneh itu. Padahal aku yakin dari penghasilanku selama bekerja di perantauan aku bisa membelikan barang-barang atau makanan kesukaan mamak. Tapi, tak mengapa aku hargai permintaan mamak.


* * *


Awal tahun ini. Aku pergi dari rumah menuju ke tanah rantauan, ekspresi wajah Mamak Nai datar, tak mengambarkan kesedihan apa lagi bahagia, jauh api dari tungkunya. Aku belum paham akan isi dari otak mak nai, bisa-bisanya ia mempermainkan pikirannya sedamai itu.


Yah, aku ingat Sulton, sewaktu ia memisahkan diri dari mamaknya. Sangat jelas terlihat olehku Mak Sulton begitu sedih melepas anak bujang satu-satunya itu. Sulton tersohor di kampung sebagai pemuda baik. Yah, memang begitulah kiprah Sulton. Bukan sekedar cerita burung, Sulton berhasil di tanah rantauannya, ia sudah tumbuh menjadi lelaki hebat, dewasa. Sementara aku hanya seorang bujang kampung, yang selalu berkokok dalam kandang. Melihat keberhasilan Sulton, aku jadi tergiur mendulang kesuksesan di tanah orang.


“Buat apa kau bangun tanah orang, bangun tanah sendiri. Tempat kau memekikan tangisan ke dunia untuk pertama kalinya,” begitu ucap mamak Nai ketika aku meminta izin, kembali tatapannya hanya kedepan, sembari memainkan guratan-guratan di atas alis. 


Ucapan Mak Nai menjadi teman abadiku malam itu, sebelum menjadi mimpi ditengah gelap malam serta kemewahan langit. Kata Mak Nai juga kalau kita memerantau ke tanah orang berarti kita membangun daerah lain. Sementara daerah kita sendiri tertinggal. 


Aku akan tetap meratau. Aku berjanji jika berhasil nanti aku akan kembali ke kampung  halamanku untuk kembali mengabdi dan membangunnya. Eah...itu ide yang cemerlang, menurutku. Pagi-pagi buta itu warga kampung di kejutkan dengan kedatangan mobil mewah berwarna hitam. Kata Wak Onde selaku orang lama di kampung ini, hal ini baru kali pertamanya ada mobil mewah masuk kampung, sejak dia di lahirkan sampai bau tanah kuburan sudah melekat ditubuhnya.


* * *


Kepulangan Sulton membawa mobil mewahnya menjadi senjata ampuh untuk aku bicara pada mamak akan rencanaku itu. Kembali wajah mamak begitu datar, walau orang kampung berduyun-duyun mengunjungi rumah Bu Roimah, menyakiskan keberhasilan Sulton. Sejak saat itu pula, banyak pemuda-pemuda kampung, diserukan orang tua mereka untuk segera merantau, agar menjadi kebanggan orang tua.


Kampung menjadi sepi pemuda, hanya ada aku dan beberapa anak kecil yang masih tersisa. Saat itu juga aku kembali menjadi anak kecil, berkawan dengan   anak SD menjadi hal yang biasa yang aku lakukan. Yah, biar mak  Nai tahu rasa, kalau anak bujangnya sekarang sudah menjadi anak kecil lagi.
“Kau tak usah berkawan dengan anak kecil lagi. Med!” hardiknya, aku sangat terpukul dengan ucapan kasar Mamak Nai. Tak seperti biasa.


Cuiiihhh!!! Mamak Nai membuang ludah, ketika sudah selesai melumat daun sirih dan diselipkan diantara giginya. 


“Jika kau ingin merantau, maka pergilah. Mamak sudah muak melihat kau bertingakah seperti anak kecil itu.” Mamak Nai kembali mengucapkan kata yang bernada tinggi. Ingin rasanya aku membendamkan wajahku kedalam leher. Namun, sebenarnya inilah kata-kata yang ingin aku dapatkan dari mamak, perkataan yang menyatakan persetujuan. Yeah! pekikku dalam hati.


* * *


Kini sudah berbulan-bulan aku meninggalkan rumah, jauh dari mamak. Bukan, aku pergi bukan ketempat-tempat dimana orang-orang kampungku berkumpul, melainkan jauh dari hirupikup kota yang gelamour. Hanya di perkebunan yang jauh lagi terpencil, terasing dari kehidupan modern, internet dan tivi tapi untung saja masih ada sinyal barang sebatang dua batang untuk saluran ponsel. 


Tomat, hanya buah itu yang seringkali menjadi penghias mataku. Saban pagi dan petang tugasku membersihkan, menyiram hingga memetik tomat, tomat yang kami tanam ini adalah tomat terbaik di dunia, sehingga tomat dari perkebunan kami sering kali di ekspor  ke negara-negara maju. Sedangkan negara-negara lain mengimpor tomat ke dalam negeri. 


Mungkin sebab itulah mamak ingin sekali tomat dari perkebuanan tempat aku berkerja. Tapi aku tidak bisa memberi satu karung tomat untuk mamak, karena di sini tidak di perbolehkan pekerja kebun mengambil tomat begitu banyak apalagi untuk dijual, yah hal itu dilakukan agar pengiriman tomat terbaik keluar negeri tetap stabil banyaknya. Hanya 2 kg tomat yang aku bawa pulang untuk mamak.


* * *


Aku sudah sampai digerbang pagar. Kulihat rumah gubuk itu sunyi. Ah, aku sudah tahu dengan warna rumah ini, pastilah mamak lagi berdiam diri di kamarnya. Maka cepat-cepat aku melangkahkan kaki. Langkahku terhenti ketika melihat mamak duduk berdiam di ruang depan, sikapnya tetap sama, begitu dinging padaku. Tapi, kali ini dia berbeda, baju yang dikenakannya begitu rapi serasi dengan kerudung yang menutupi kepalanya.


“Mamak mau kemana?” tanyaku.


“Ke rumah Bu Roimah.” Jawabnyan begitu singkat.


“Ada apa dengan bu Roimah?”


“Beliau meninggal dunia, setelah mendengar Sulton di tangkap KPK.” Dingin (*)

 


                                                                                                                              Prabumulih, Maret 2014



LihatTutupKomentar
Cancel

Terima kasih sudah baca postingan allamsyah.com, silakan tinggalkan komentar