Dibatas Rindu Musi

Oleh : Akara. K





19:00 WIB

Malam telah menyayat hati membuat luka ini kian menjadi bara dalam diri. Benteng ini juga telah menjadi saksi atas peristiwa memalukan sepanjang hidupku. “Memalukan.”  aku mengulang kembali kata-kata yang begitu saja aku ucapkan.


“Semua ini gara-gara Iriana.” Aku tahu ucapan itu sudah bercampur dendam, perkataan yang tak sehat lagi. “Hahhh.” Aku menghela napas pelan, kuatur detak jantung agar bisa membawa diri ini kian tenang. Kemegahan Ampera dengan segala pernak-pernik lampu hiasnya tak mampu menjadikan indah pada malam ini.


Dari alun-alun Benteng Kuto Besak, aku bisa melihat keindahan jembatan yang sudah menjadi ikon kota pempek ini. Disini, tempat aku selalu memadu malam, bersama kenangan. Aku tak harus bersedih, biar malam menjadi pendamping sejati.


Kian larut, alun-alun Benteng Kuto Besak ini semakin ramai banyak muda mudi menghabiskan malam, mereka berpasang-pasangan, berkelompok-kelompok dan ada juga yang sendiri. Iriana wanita itu dulu sering bersamaku, menyantap mie pangsit yang bisa berjualan di sini, penjual biasanya menyediakan kursi-kursi kecil tapi aku dan Iriana tak memanfaatkan kursi itu.

 

Kami  biasanya duduk di atas pagar yang langsung menghadap ke sungai musi. Angin malam yang berembus terkadang membuat rambut panjang Iriana terombang-ambing, mata sayu kemudian. Romansa di tepi musi, kami menamakan itu karena memang sangat tepat. 


Kapal sesekali melintas di hadapan kami, kapal-kapal indah dengan segala cahayanya, membuat musi semakin cantik di kala malam. Dan kami sudah terbius oleh kecantikan itu, membuat kami betah. 


Sebuah senyum tersunging di wajahku, Iriana memang gadis yang bisa membuatku selalu tersenyum, segala tingkah lakunya membuat perutku terasa digelitiki dari dalam. “Iriana.” Aku sangat merindukannya, berharap gadis berkulit putih itu kembali dalam kehidupanku. Dalam bait doaku namanya tak pernah luput, terus terucap menyelinap di sela-sela hati yang rapuh. 


Ah, Iriana aku sudah terbius oleh cintamu, cintamu telah berhasil membuat aku binggung, kemana aku harus mencari keberadaanmu, Iriana lama-lama aku menggila oleh cinta yang selalu engkau tawarkan, hati tak selamanya mampu menjadi penawar cinta gersang walau berselimut kesejukan jiwa. 


21:00 WIB

Dua jam, malam telah berhasil merayuku di tepi musi, dan kau sungai musi seharusnya berterima kasih pada malam, kerana jasa malam aku betah memadu kasih bersamamu, aku sedang sendirian sementara engkau sama, tapi kau sudah berkhianat, kau sudah mengambil kekasih hatiku, Iriana.

  

“Kau penghianat musi, penghianat!!!”  teriakku, muda-mudi yang sedang memadu kasih tak jauh dariku, melirik aneh. Sepasang mata mereka seperti ingin menghinaku. 


Aku tak menghiraukan mereka, gelombang air sungai musi lebih menarik untukku. Aku berharap dari balik gelombang itu Iriana akan muncul, rambut panjang lagi hitam terurai menutupi sebagian wajahnya, kemudian wanita pujaanku itu menyingkap rambut hitam nan lebat lalu tersenyum melihatku.


Aku tidak bisa membayangkan itu, Iriana tampak lebih cantik setelah lama bersembunyi di dasar musi. Maka tak ada salahnya sebuah tanggan terjulur ke sungai musi, aku ingin menyambutnya seromantis mungkin seraya berkata “Selamat datang kekasihku.” Lalu Iriana menyambut huluran tanganku. Telapak tangannya terasa halus, kau seperti terlahir bak bidadari. 


Kemudian senyum kembali terukir di wajah berwarna sawo matang ini, aku tersenyum menatapnya antusias. Sepasang kekasih di sebelah tak lepas memperhatikan tingkahku, mereka sepertinya mulai risih atau malah takut.


22:00 WIB

Iriana. Aku kembali menemukannya, ahahhh...wanita itu pasti Iriana, aku mengejarnya, tak salah lagi. Kau telah kembali kekasihku, aku sangat merindukanmu.

Plakkk...

Sebuah tamparan mendarat di pipi kananku, sehingga membuat aku terhuyung dan menjadi perhatian beberapa pengunjung BKB. 


“Mas jangan gila ya, mau peluk saja.” Ucap wanita itu, aku mengamatinya dengan seksama. Untuk lebih memastikan, lebih lama dan lama lagi.


“Kenapa mau ditampar lagi.”

“Maaf, aku salah orang.”


Kau sudah menipuku, Iriana. Tapi tak mengapalah demi cinta yang kau tawarkan seribu tamparan dari wanita tadi tak akan masalah bagiku. Cinta sangatlah buta lagi membutakan, begitu sabda para pujangga. Namun, aku bukanlah para pujangga, aku hanya lelaki yang merindukan cinta dari Iriana.  Wanita itu yang telah memerubah diriku menjadi seperti ini. 


Ooo aku tak bisa menyalahkan Iriana begitu saja, yang membuat aku menjadi seperti saat ini ialah cinta. Banyak makhluk yang berubah kerana cinta. Dulu sewaktu masih SMA, aku pernah mendengar cerita cinta Layla Majnun sebuah cerita cinta dari tanah Arab. Kisah Layla Majnun memang melengenda turun temurun dari mulut ke mulut. 


Tapi kisahku berbeda  jika dibandingkan kisah Layla Majnun. Kalau di kisah Layla Majnun, penolakan lamaran oleh ayah Layla atas lamaran seorang lelaki  bernama Qais ibn Syed Omri nama asli Majnun, sementara arti dari Majnun adalah gila. Pada akhirnya Layla di nikahkan dengan lelaki lain yang membuat Qais menjadi gila.


Itu sepenggal cerita Layla Majnun, sementara kisah cintaku dengan Iriana  lancar mirip jalan tol sebelum bulan puasa. Tapi, aku seperti tak sanggup lagi melanjutkan ceritaku. Ayah dan ibu Iriana sudah sangat setuju  jika bermantukan diriku. 


Terkadang cinta pun sibuk memisahkan insan yang sedang dilanda cinta. 


23:00 WIB

Aku sudah mati, cinta yang telah ditawarkan Iriana pun ikut tenggelam bersama rasa mati ini. Iriana tak akan kembali lagi menjemputku di sini. Seperti dulu, ketika kami bertemu sembari  membelah malam di tepi sungai musi. Kalau pun boleh aku menamakan sungai ini, adalah  sungai persembahan cinta di bumi Sriwijaya, dan sungai yang menjadi saksi atas cintaku. 


Jika cinta memberikanku satu kesempatan lagi untuk memupuk cinta yang telah mati, pastilah aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Namun, kesempatan adalah barang langka yang bisa kembali. Aku tahu diri akan hal itu, cinta akan tetap menjadi cinta, yang akan membedakan mereka hanyalah akankah tetap berjalan atau hanya akan dikenang. 


“Seorang lelaki sejati ia hanya akan menyimpan sedihnya sendiri.” aku masih mengingat kata-kata itu, dari seorang teman bernama Oscar.

 

Mungkin ada benarnya, aku harus menyimpan sedih ini sendiri, walau kenyataan itu perih terasa. Menyayat. 


“Tanamlah cinta semu itu di sudut-sudut hatimu, jika ia hanya akan menjadi benalu maka tebaslah ia tanpa harus melukai seluruh hatimu.” lanjut Oscar. Aku yang dulu sudah larut dalam cinta tak mungkin mengindahkan kata-katanya.  Aku sudah keliru dan dikelirukan cinta.


00:00 WIB


Malam yang dulu menjadi saksi cintaku bersama Iriana, rasanya kini aku ingin bercumbu dengan malam sebagai pengganti Iriana. Lalu bulanlah yang akan menjadi saksi cintaku dan malam.  Ah, aku tak ingin menjadi Qais gila karena cinta. Gilalova tak selamanya buruk, mungkin ini juga menjadi pelajaran dari semua kisah. 


“Hahaha...” tawa itu berarti tanda , aku sudah terlepas dari ikatan cinta Iriana. Sebuah kisah cinta fiksiku yang berhasil aku ciptakan sendiri bersama gelombang-gelombang air sungai musi bercampur malam. 


Sungguh menjadi cerita cinta komplit. Oscar, aku ingin menemunya memita petunjuk akan permasalahan ini, aku yakin ia adalah orang yang tepat untuk di jadikan wadah cerita bagi penggila cinta macam diriku.


Aku meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini, menuju rumah Oscar. 


01:00 WIB

Aku sudah berdiri di depan  pintu rumah sahabat akrabku itu, tinggal selangkah lagi mengetuk pintu, berjumpa dengannya lalu aku akan dipersilakan masuk, istrinya menyiapkan dua cangkir kopi untuk kami.


 Tapi sebuah keragu-raguan hadir,  menciptakan kepengecutan dalam diri. Aku  teringat dengan kejadian itu, disaat detik-detik aku kehilangan Iriana. Tidak Irianaku bukan diambil Musi.


“Kau penghianat!!!” dadaku bergemuruh. 


Bara didada ini kian manyala, seiring aku kembali menyalakan motor, pedal gas motor kutariku sekuat mungkin hingga menimbulkan suara bising di depan rumahnya. “Hahaha... dulu itu Irianaku, bukan istrimu,” ucapku sembari tertawa sekencang-kencangnya. 


“Musi ini telah menjadi saksi atas kisah kita Iriana, Tapi kenapa engkau tenggalam bersama musi. Kau telah membuat hatiku hancur!!!”


Aku semakin tak bisa menggendalikan emosiku. Ahh, aku tidak ingin menjadi gila kerena cinta, aku masih waras. Barangkali cintalah yang sudah gila, iya aku yakin cinta sudah gila sehingga tak bisa menempatkan cinta dimana selayaknya cinta berada. 


Dan Iriana, aku telah menemukanmu kembali. Engkau benar-benar muncul di balik gelombang air sungai musi, dan engkau  merayuku dengan lambaian tangganmu seakan-akan ingin mengajakku pergi hidup bersamamu di dasar Sungai Musi. 

 

Tenang Iriana aku akan menjumpaimu, kau tetaplah disitu bersama kesetiaan yang selalu setia di hatimu. “Hahaha...” senyummu Iriana. 


Cinta macam apa yang engkau tawarkan untukku hingga aku sendiri tak menyadari itu. Aku telah luluh bersama kenangan yang telah kita ciptakan di sini. Di tepi sungai musi, di bawah rembulan, di bawah malam yang kini sudah menjadi kekasih setiaku. (*)



                                                                                                                    Prabumulih, 25 Oktober  2014




















 

LihatTutupKomentar
Cancel

Terima kasih sudah baca postingan allamsyah.com, silakan tinggalkan komentar